The Banksters
Silakan googling tentang Erick Jazier Adriansjah, analis Bahana di akhir tahun 2008 yang ditahan karena mengingatkan client-nya tentang adanya bank-bank sakit. Bukankah di kemudian hari terbukti ada bank yang dilikuidasi dan bermasalah seperti bank IFI dan bank Century? Orang yang berbuat baik dan mengingatkan adanya bahaya malah dimasukkan ke dalam tahanan, sedangkan para gubernur bank sentral, orang yang menyembunyikan kebobrokan yang berpotensi merugikan banyak orang malah tetap makan gaji besar. Bisakah kalian percaya pada orang-orang semacam ini? Kalau dalam agama Islam, orang semacam ini disebut khianat, lawan dari amanah. Erick yang amanah ditahan kepolisian karena dituduh menyebar kepanikan, padahal yang dia sampaikan adalah kebenaran, sedangkan di sisi lainnya, Menkeu, pemerintah dan BI sepakat menutupi kebenaran, mereka inilah yang khianat.
Ekonomi jelas bukan sains, terkadang malah seperti agama-kepercayaan, semua tergantung kepercayaan masing-masing.Tapi saya selalu ingin ilmiah, atau paling tidak pseudo-ilmiah.
Bagaimana uang diciptakan
Sebagai ilustrasi, misalnya di Negara Kesatuan Republik Kecebong disingkat NKRK, ada bank sentral swasta bernama Bank Sentral Kecebong (BSK) yang diberi kekuasaan atas monopoli pencetakan uang, sebut saja Dollar Undur-Undur ($ DUU). Ingat baik-baik bahwa bank sentral ini adalah bank swasta seperti the Fed (Federal Reserves Bank, Amerika Serikat), dan bukan bank negara. Ia (Bank Sentral Kecebong) meminjamkan uang yang dicetaknya sebesar $1 juta (DUU) dengan bunga 5% (atau berapa saja, tinggal sebut) per tahun kepada pemerintah dan rakyat negara kecebong secara aggregat. Maka tahun berikutnya hutang ini sudah menjadi $1,05 juta. Kalau nasabah (baik pemerintah atau rakyat) tidak punya otoritas mencetak uang, dari mana nasabah memperoleh $ 50 ribu untuk bunganya itu? Setelah 5 tahun, hutang tersebut jatuh tempo dan harus dibayar berserta bunganya, maka total yang harus dikembalikan ke bank adalah $1,25 juta. Persoalannya adalah, dari mana nasabah memperoleh $250 ribu lagi? karena mereka tidak mempunyai otoritas mencetak uang $ DUU.

Hikmah cerita, pada saat hari jatuh tempo hutang yang bersifat massal, akan terjadi kekurangan cash. Hal ini disebabkan karena ada selisih antara agregat uang yang beredar dengan total hutang (pokok dan bunganya). Uang yang diciptakan hanyalah sebesar hutang pokok. Oleh sebab itu mau tidak mau bunganya akan dikemplang, atau dibayar dengan aset (yang tentunya harganya akan dijatuhkan dulu oleh kreditur).
Cerita di atas adalah untuk kasus di mana debitur swasta yang wajib punya jaminan. Bagaimana jika debitur itu pemerintah yang jaminannya tidak ada kecuali “menarik pajak yang lebih rajin dan giat”? Pemerintah Negara Kesatuan Republik Kecebong (NKRK) mengeluarkan surat obligasi sebesar $100 juta dengan kupon 10% misalnya dengan jangka waktu 40 tahun. Dalam kurun waktu 10 tahun, uang $100 juta yang diperoleh dari menjual surat obligasi itu akan habis untuk membayar kupon bunga. Ketika habis masa berlakunya, total $DUU yang harus dibayar oleh pemerintah NKRK adalah $500 juta. Padahal yang ada hanya $100 juta. Perlu diingat bahwa NKRK tidak bisa seenaknya langsung mencetak uang karena pemerintah NKRK secara undang-undang tidak mempunyai otoritas mencetak uang. Jadi dari masa ke masa untuk menambal defisitnya NKRK mengeluarkan surat obligasi lagi yang agunannya tentu juga tidak ada, atau menarik pajak yang lebih giat. Itu berarti mengambil sebagian $ DUU yang beredar di masyarakat dan akan mencekik ekonomi. Secara keseluruhan, sistem harus melakukan ekspansi kredit untuk mengejar pembayaran bunga, sampai beban hutang tidak tertahankan lagi. Pada saatnya, hutang harus diselesaikan, terjadi kelangkaan $ DUU (yang secara matematis saldonya pasti negatif), aset terpaksa dijual. Karena ada keterpaksaan dalam menjual, maka harganya murah.
Hikmah dari uraian di atas adalah bahwa dalam sistem riba:
Harus terus melakukan ekspansi hutang secara eksponensial, kalau tidak, sistem akan kolaps. Ini berlangsung sampai beban hutang tak tertanggungkan lagi.
Ketika kecepatan hutang mereda atau berhenti maka sistem akan kolaps dan jumlah uang pasti tidak cukup uang membayar hutang. Secara matematik, tidak ada uang yang bisa dialokasikan untuk bunga/kupon. Besarnya hutang selalu (dan pasti) lebih besar dari jumlah uang yang beredar.
Sebagian hutang harus dibayar atau dikemplang. Jika pembayaran itu dilakukan dengan agunan (jika hutang pemerintah maka agunan itu bisa dibebankan ke rakyat), maka harga aset akan jatuh.
Dengan demikian pada fase deflationary, harga aset akan jatuh dan mata uang yang mengalami kontraksi akan naik nilainya karena ada kelangkaan.
Begitulah penjelasan yang disederhanakan, terasa mirip dengan fase Rp VS USD saat ini? di akhir tulisan, saya akan membawa kalian berpikir ke mana kita bergerak. Sebagai catatan penting, Bank Sentral Kecebong (BSK) di Negara Kesatuan Republik Kecebong (NKRK) adalah bank swasta dan NKRK tidak punya otoritas untuk mencetak uang. Yang punya hak adalah Bank Sentral Kecebong.
Ekonomi lepas landas, dan… nyungsep.
Setelah penjelasan singkat tentang bagaimana penciptaan uang kertas, saya ingin mengajak kalian untuk sedikit bernostalgia dengan krisis 98.

Pada akhir 1980-an sampai awal 1993, Thailand, Malaysia, Indonesia, Singapura, dan Korea Selatan mengalami tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, 8–12%. Prestasi ini diakui oleh lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia dan dijuluki sebagai “keajaiban ekonomi Asia“.
Pada waktu itu, Indonesia terlihat jauh dari krisis. Tidak seperti Thailand, Indonesia memiliki inflasi yang rendah, perdagangan surplus lebih dari 900 juta dolar, persediaan valas lebih dari 20 miliar dolar, dan sektor perbankan yang baik. Sampai bulan Juni 1997, deru mesin untuk ekonomi lepas landas masih sangat terasa, tapi bulan Oktober 1997 atau empat bulan kemudian, mesin untuk lepas landas ini ketinggalan di landasan pacu dan akhirnya nyungsep, cepat kan?
Meskipun mengalami pertumbuhan ekonomi yang tinggi, ekonomi Indonesia sebetulnya tidak sebagus yang dipuji banyak kalangan. Selama 17 tahun, Indonesia memiliki defisit kronis akun berjalan swasta yang besar. Penerapan nilai tukar tetap meningkatkan pinjaman luar negeri dan memperbesar resiko di sektor keuangan. Hal ini diperparah dengan pulihnya ekonomi US dari resesi pada awal 1990-an, The FED di bawah pimpinan Alan Greenspan mulai menaikkan suku bunga US untuk menurunkan inflasi. Keputusan ini menjadikan US sebagai negara yang lebih menarik bagi investor dibandingkan Indonesia.
Pada bulan Juli 1997, Thailand mengambangkan Baht, dan Rupiah mulai terserang kuat di Agustus. Pada 14 Agustus 1997, pertukaran mengambang teratur ditukar dengan pertukaran mengambang-bebas. Rupiah jatuh lebih dalam. Rupiah dan Bursa Saham Jakarta menyentuh titik terendah pada bulan September. Moody’s menurunkan hutang jangka panjang Indonesia menjadi “junk bond” alias sampah.
Di masa krisis 1998, perusahaan yang meminjam dalam USD harus menghadapi biaya yang lebih besar yang disebabkan oleh penurunan rupiah. Akibatnya, banyak orang yang bereaksi dengan menukarkan rupiah dengan USD, ini menurunkan harga rupiah lebih jauh lagi. Inflasi rupiah dan peningkatan besar harga bahan makanan menimbulkan kekacauan di Indonesia. Pada bulan Februari 1998, Presiden Soeharto memecat Gubernur Bank Indonesia, Sudrajad Djiwandono. Puncaknya, Presiden Soeharto sendiri yang dipaksa untuk mundur pada tanggal 21 Mei 1998 dan B.J. Habibie diangkat menjadi presiden.
Pelajaran yang bisa diambil, rezim kuat akan tetap bertahan selama bisa menjaga agar perut rakyatnya kenyang. Riak-riak kecil hanya muncul sesekali, itupun gampang ditumpas. Hal berbeda baru akan terjadi jika pemimpin otoriter ini berada di tengah-tengah masyarakat yang lapar dan putus asa, mereka ini mudah tersinggung dan gampang sekali untuk dihasut. Contohnya banyak, Gaddafi di Libya, Mubarok di Mesir, dan yang paling brutal di Suriah, tapi kalau saya bahas tentang Suriah ini akan sangat panjang, jadi untuk sementara kita lewat dulu, mungkin nanti.
Krisis, saat manusia kehilangan rasionalitas
Informasi bisa seperti cerita fiksi Superman, ceritanya memang enak dibaca, tetapi hanya untuk dibaca saja, bukan untuk dianalisa dan dicocokan dengan realitas. Orang tidak pernah melakukan cek realitas tentang kemampuan terbang Superman. Apa yang mendasari kemampuan terbang Superman, gaya Archimedes (gaya apung) atau tenaga propulsi seperti pesawat terbang? Kalau gaya Archimedes yang membuat Superman mengapung/terbang, maka berat Superman harus ringan sekali dan berat jenisnya lebih kecil dari berat jenis udara. Pertanyaan berikutnya akan muncul ketika melihat Superman in action mengangkat bus, pesawat terbang: apakah berat jenis rata-rata besi (bus atau pesawat) plus Superman lebih ringan dari udara? Andaikata Superman menggunakan sistem propulsi untuk terbang, di mana letak baling-baling atau sistem jetnya? Makan apa dia untuk energi terbang?

Memang cerita Superman adalah cerita fiksi. Yang mau saya tekankan ialah bahwa cerita fiksi ini berbenturan dengan ilmu alam yang selalu menjadi landasan pemikiran orang waras dalam menelaah suatu informasi. Orang waras mendasari kesimpulannya atas dasar fakta dan realitas, bukan atas dasar nafsu, emosi dan semangat isme yang dianutnya, dan secara empiris, orang akan lebih fanatik lagi dan kehilangan saringan untuk kontrol informasi yang masuk, misalnya saat berada dalam tekanan dan kesulitan ekonomi, emosi dan kecemburuan sosial akan berada di atas logika berpikir.
Coba tengok demo berjilid-jilid di Jakarta pada masa Ahok. Sebagai seorang manusia yang dianugerahi akal pikiran, saya lebih suka melihat segala sesuatu berdasarkan fakta dan rasionalitas, bukan fanatisme buta. Ketika kasus ini ramai, meskipun saya muslim, tapi saya lebih milih masuk kerja dari pada ikut demo, bukan saya tidak mau bela Islam, tapi untuk menyikapi orang yang menistakan agama, di QS Al-An’am 68 sudah tertulis jelas, cukup tinggalkan orang tsb sampai dia mengganti topik yang lain, tidak perlu didemo berjilid-jilid, saya tidak tahu mereka yang ikut demo tahu perintah di Al-Qur’an ini atau lebih memilih perintah Habiebnya, mungkin mereka berpikir Al-Qur’an bisa salah sedangkan Habieb dan ulama tidak, entah lah.
Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu). QS Al-An’am: 68.
Faktanya, ada tiga alasan utama yang melatar belakangi kasus di atas:
- Ahok adalah “Cina kafir” dan kaya. Di masa 98, golongan ini pun menjadi target kerusuhan meskipun orang kaya tidak hanya dari kalangan mereka saja, pendatang dari India dan Arab yang sudah jadi WNI pun banyak yang kaya, tapi mereka tidak menjadi target masa pribumi.
- Akan ada perebutan posisi gubernur. Ahok yang meskipun “Cina kafir”, tetapi memiliki basis pemilih muslim yang cukup besar, ini tdak bagus untuk lawan politiknya yang muslim, isu besar harus diciptakan.
- Kondisi ekonomi yang sedang menurun. Habib Rizieq sangat vokal tidak hanya di tahun 2016, sebelum-sebelumnya pun sama, tapi kenapa masa mulai bisa dikonsentrasikan baru pada tahun 2016? Di masa menjelang krisis, orang-orang yang dulu sibuk kerja satu persatu kehilangan pekerjaannya, dari yang dulu kerja tetap, menjadi kerja serabutan, narik gojek misalnya, yang dulu kerja serabutan menjadi tidak punya kerjaan sama sekali, orang-orang seperti ini lebih mudah dihasut, emosi harus disalurkan.
Kasta dan Politikus
Agar sistem bunga berbunga bisa berjalan, bankir perlu pemerintah yang patuh terhadap sistem, sedikit korup tidak akan jadi masalah, selama hak penciptaan uang di tangan mereka, mereka tidak akan peduli siapa yang memegang tampuk kepemimpinan.

Sistem kasta adalah penggolongan masyarakat berdasarkan profesinya. Brahmana adalah kelas terpelajar, Wesia adalah kelas pekerja, Ksatria adalah kelas birokrat dan politikus, dan sudra adalah kelas terbuang. Untuk kelas brahmana dan wesia, peran dan kontribusi mereka untuk kemakmuran jelas. Tetapi untuk kelas ksatria, politikus, saya tidak pernah mengerti apa kontribusi mereka untuk kemakmuran masyarakat.
Budaya manusia dibentuk dan direkayasa salah satunya oleh apa yang disebut dengan sejarah. Berbicara tentang orang-orang yang berjasa, berguna bagi umat manusia, banyak dari kita yang tidak bisa menyebutkannya. Misalnya, pada saat kalian mengendari mobil di jalan beraspal yang mulus, pernahkah kalian berpikir siapa yang menemukan aspal? Kalau kita bersantai di rumah, pada hari hujan lebat, pernahkah berpikir siapa yang menemukan semen? Berapa banyak benda-benda yang memudahkan hidup kita yang terbuat dari semen selain rumah; jembatan, jalan, tanggul penahan ombak, dermaga kapal. Aneh bukan kalau penemu semen tidak ada yang tahu?
Kalau kalian disuruh menyebutkan siapa presiden pertama Amerika Serikat, atau presiden Indonesia zaman Orba, maka dengan mudah kalian menyebut nama G. Washington dan Soeharto. Aneh kan? Jasa apa yang mereka buat yang berkaitan dengan kenyamanan hidup kita. Ambil saja Kemal Attartuk, Apa jasa dia kepada umat manusia sehingga namanya ada di buku-buku sejarah dan harus dipelajari dan membuat kalian hapal? Bandingkan dengan penemu aspal atau semen yang jelas-jelas berjasa bagi umat manusia.
Dunia diciptakan oleh politikus. Politikus atau dalam bahasa kastanya tidak lain adalah kelas ksatria adalah golongan benalu yang tidak produktif. Yang disebut politikus, untuk mendapatkan pembenaran keberadaannya harus membuat image bahwa mereka penting. Mereka membuat pahlawan dari kalangannya dan mengagung-agungkannya. Semua itu dilakukan lewat sejarah dan diajarkan di sekolah-sekolah. Dalam sejarah, adakah diceritakan tentang penemu semen, aspal, kain katun atau nilon? Yang ada hanya cerita mengenai presiden, mentri, jenderal, dan sejenisnya, dan mereka semua hebat. Saya akan memberikan contoh detail.
Pembentukan image bahwa politikus adalah kaum yang penting adalah sangat universal, kecuali mungkin dalam budaya Islam yang populer seperti 4 khalifah atau gubernur Afrika Utara zaman Umar bin Khattab, Amr bin Ash yang justru menurunkan pemasukan pajak dari 72 juta dinar per tahun di zaman pemerintahan Romawi menjadi hanya 12 juta dinar, tetapi kemakmuran meningkat. Kasus seperti ini sangat langka, apalagi dalam sejarah kontemporer.
Kita lihat bagaimana bangsa ini membanggakan perang kemerdekaan yang heroik dan penuh romantisme. Bagi yang tidak merasakan kesengsaraan perang, nampak seakan perang itu indah, heroik dan penuh romantisme. Tetapi, saya berani bertaruh kalau kalian berada di medan perang dan tertembak kakinya, Tidak mati dan tidak hidup, dikepung musuh, mungkin kalian akan kencing dicelana karena ketakutan atau lebih baik bunuh diri untuk menghilangkan stres. Saya mungkin yang masih waras dan tidak mempan tentang cerita semacam itu. Kalau kalian berpikir, apa gunanya perang? Suriname bisa merdeka tanpa perang, juga Malaysia, Singapura dan sederet lagi. Di banyak kasus, perang adalah tindakan bodoh dengan pengorbanan sia-sia. Jangan tanyakan hal ini kepada politikus, mereka akan membantahnya.
Ayat di bawah ini mungkin bisa jadi renungan:
“Pada hari muka mereka berbolak balik dalam neraka mereka berkata; ‘Hai kiranya kami taat kepada Allah dan kami taat kepada Rasul’. Dan mereka berkata: ‘Ya Tuhan kami, sesunguhnya kami telah mengikuti pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka sesatkan kami dari jalan yang benar. Ya Tuhan kami datangkanlah kepada mereka adzab dua kali lipat dan laknatlah mereka dengan laknat yang besar”. (Al Ahzaab : 66-68)
Harus diakui bahwa tidak semua warga ksatria dalam sejarah digambarkan sebagai pahlawan. Hitler, Mussolini masuk dalam satu grup dengan Rahwana atau Kurawa, the bad guy. Mungkin Hitler dan Mussolini tidak lebih buruk dari Abraham Lincoln. Hanya saja, para penulis sejarah tidak berpihak pada Hitler dan Mussolini karena mereka di pihak yang kalah dan tidak mempunyai kontrol terhadap penulisan sejarah.
Di Indonesia pada saat ini, terjadi fenomena bahwa orang sedang berlomba-lomba menjadi kelas ksatria aktif. Apakah itu ikut dalam partai politik atau organisasi kedaerahan. Zaman Soeharto, kebanyakan jadi ksatria pasif. Pada waktu itu, rezim Soeharto merekrut banyak pegawai negeri untuk dijadikan anggota Korpri yang mendukung partai berkuasa. Seandainya waktu itu 90% pegawai negeri dipecat, keadaan mungkin sama saja, tidak berpengaruh terhadap jalannya roda pemerintahan, bahkan mungkin lebih baik, karena tidak banyak pengganggu dalam masalah perizinan. Keadaan sekarang lebih parah, karena posisi ksatria memang menggiurkan dari pada kelas wesia, kelas ksatria tidak membutuhkan ketrampilan. Lagi pula kelas benalu/ksatria kenyataannya menguasai, mengatur-atur, menindas dan bisa menakali kelas wesia. Tetapi jangan lupa bahwa yang menghidupi masyarakat adalah kelas wesia.
Perpindahan dari kelas wesia yang produktif ke kelas ksatria yang benalu merupakan proses pemiskinan masyarakat. Kalau fenomena ini berlangsung terus, jangan iri kalau Malaysia jauh lebih makmur dari pada Indonesia, walaupun dari segi sumber alamnya Indonesia lebih banyak. Kemakmuran tidak butuh kelas politikus/ksatria.
Ada hasil survey yang dilakukan oleh Tranparancy International Indonesia (TII) tentang indeks persepsi korupsi di Indonesia, hasilnya mengatakan bahwa polisi, partai politik, parlemen (DPR) dan lembaga peradilan adalah lembaga terkorup di Indonesia. Posisi juara selalu berpindah tangan dari tahun ke tahun dan finalisnya tetap sama, polisi, parlemen, peradilan dan partai politik.
Tahun depan, kita akan memilih para ksatria untuk didudukkan sebagai pelaksana kekuasaan dan sebagai pembuat aturan. Dari satu periode ke periode lainnya sudah kita lakukan. Apakah hidup kita lebih makmur? Apakah uang yang mereka tariki (pajak) dan kita bayar, sebanding dengan apa yang mereka berikan? Secara matematik, lebih baik mereka tidak ada. kalian menyewa satpam sebagai pengganti polisi untuk menjaga keamanan. Kalian pergi ke badan arbitrase kalau ada sengketa perdata, bukan ke pengadilan. Undang-undang juga sudah tumpang tindih. Jadi buat apa mereka?

Jika tidak ada kejutan, tahun depan nama-nama yang akan disodorkan dari kaum parasit (ksatria) kepada kaum produktif (wesia) masih dia-dia lagi, dari parasit satu pindah ke parasit lainnya, apa kalian masih percaya? Kalau saya sih maaf, kursi kosong jauh lebih baik, terserah kalau kalian masih ndableg dan percaya janji mereka.
Apa yang kalian harapkan dari memilih orang-orang yang berjanji menyelesaikan masalah yang sumber masalahnya saja mereka tidak tahu? Semua masalah kontemporer, seperti kemiskinan dan kebodohan, selain karena kelas benalu (politikus) yang korup, juga karena sistem riba yang menjadi poin utama di artikel ini.
Jepang yang pemerintahnya jauh lebih jujur dan bersih dari Indonesia memiliki hutang perkapita paling tinggi di dunia, Singapura, Peranis, Italia, semua ada di gerbong yang sama. Jika kalian berpikir bahwa Islam satu-satunya agama yang menentang riba, maka kalian salah besar, tentangan dari agama Yahudi dan Nasrani pun sama.
“Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan atau apapun yang dapat dibungakan.” Ulangan 23:19
“Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba dari padanya, melainkan engkau harus takut akan Allahmu, supaya saudaramu dapat hidup di antaramu. Janganlah engkau memberi uangmu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah kauberikan dengan meminta riba.” Imamat 25:36-37
Realita saat ini
Sejauh yang saya tahu, menyampaikan kejujuran itu bukan perbuatan dosa, menandatangani surat yang membolehkan penjualan aset Pertamina dan bilang gak ingat, itu baru dosa, kalau gak percaya, tanya sendiri sama menteri BUMN.
Menjelang pilpres tahun depan, Jokowi menarik kembali perpres yang dia buat sendiri, PLN dilarang menaikkan tarif listrik sampai 2019, pertamina harus jualan premium lagi di Jawa dan Bali, solar dilarang naik. Ini semua dalihnya untuk menjaga inflasi, biarpun penentuan sampai tahun 2019 jelas karena pemilu.
Mungkin sesekali Jokowi perlu melihat grafik minyak dunia dan dollar index di pasar spot, agar bisa dibandingkan dengan APBN 2018-2019, siapa tahu berubah pikiran. Jika dia memang bekerja untuk rakyatnya, resiko tidak dipilih lagi di 2019 juga tidak akan masalah, yang salah itu mengamankan popularitas untuk 2019 dan mengorbankan rasionalitas penyusunan anggaran, begitu jebol, dampaknya kejam. Indeks USD dan harga minyak memiliki korelasi yang kuat dengan untung rugi PLN-Pertamina, juga utang dan APBN Indonesia.
Ada euforia tentang akuisisi freeport beberapa hari lalu, sayangnya baru tahap HoA alias sangat awal dan belum ada deal apa-apa, sumber pendanaan akuisisinya pun tidak jelas, dari berita beberapa hari lalu, baru terungkap bahwa dana untuk akuisisi ini didapat dari pinjaman bank asing (utang), selain menambah stok USD, praktek ini juga tidak akan menyedot uang cash dalam negeri, rupiah stabil sementara. Dampak buruknya, akuisisi ini dilakukan saat tren USD pulang kampung (naik) dan harga komoditas turun, ini seperti beli Ronaldinho menjelang pensiun dengan harga Neymar, melukai logika. Saat cicilan utang akuisisi ini ditagih kreditur, pemerintah baru sadar bahwa mudarat pembelian freeport ini lebih besar dari manfaatnya.
Skenario krisis
ekonomi dunia sudah sangat sakit sejak tahun 2008, di masa krisis muncul ide bank sentral yang disebut Quantitave Easing alias kredit murah secara besar-besaran untuk memompa ekonomi yang sudah overdosis. Masalah kredit (hutang) diselesaikan dengan kredit (hutang) yang lebih besar. Orang sakau diobati dengan heroin yang dosisnya lebih tinggi, sembuh? Silakan pikir sendiri. Media kemudian memberitakan bahwa dunia sudah berada di jalur pemulihan ekonomi. Begini, yang mereka sebut pemulihan itu hanya dampak stimulus. Ketika efeknya habis, maka ekonomi kembali ke tren semula, resesi. Ketika efek heroin habis, orang yang teler akan kembali sakau, segala sesuatu yang ditiup dari ilusi, akan berakhir juga sebagai ilusi.
Dalam banyak segi, krisis yang akan datang ini punya kemiripan dengan krisis depresi 1930. Bedanya, pada krisis 1930, US berperan sebagai konsumen, produsen, sumber kredit, dan sumber bahan baku. Sekarang, peran-peran ini sebagian digantikan oleh Cina, India dan negara berkembang lainnya, Jepang sebagai produsen, US sebagai sumber kredit dan konsumen dan Australia, Kanada, Brazil dan Indonesia sebagai sumber bahan baku, dengan kata lain, skala penjalarannya lebih luas. Satu lagi, di masa resesi 1929, USD masih di-back up oleh emas, sedangkan di masa sekarang, yang mem-back up USD hanyalah surat utang pemerintah, janji untuk membayarnya di kemudian hari, rapuh. ini artinya, kita akan mengalami krisis terburuk yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah peradaban umat manusia. Ketika great depression 1929, tahun-tahun setelahnya terjadi perang dunia II, bagaimana dengan kita nanti? entah lah, mungkin Donald Trump sudah punya bayangannya.
Di zaman modern, mayoritas negara dan perusahaan besar menggantungkan nyawanya pada kredit, kredit dibuat untuk ekspansi dan pembayaran hutang lama. Namun, di masa krisis, kredit menjadi mahal dan susah diperoleh. Bank-bank komersial tidak mau menyalurkan kredit lagi dan tidak memperpanjang kredit yang jatuh tempo. Perusahaan dan pemerintah yang sebelumnya menikmati berenang di dalam danau kredit USD, akan gelagapan karena danaunya membeku. Untuk bisa tetap terapung, mereka mencari dollar yang masih cair, atau mencairkan aset-aset yang lain untuk bisa memperoleh USD untuk mengembalikan kreditnya yang dalam bentuk USD. Oleh sebab itu, kita akan melihat nilai USD akan terbang, lebih membumbung dari krisis 97-98.
Selepas 2009, semua negara dan perusahaan besar seperti lari maraton di kilometer terakhir, sebelum kehabisan nafas di masa ini karena bubble kredit pecah. Nasib yang paling tragis akan dialami oleh negara yang hidupnya dari uang panas dan penuh dengan leverage. Kita ambil contoh krisis keuangan global 2008, Islandia yang berbasis jasa keuangan, mengalami keruntuhan finansial. Tiga bank besarnya (Kaupthing, Landsbanki, Glitnir) runtuh karena mengalami kesulitan memenuhi kewajiban (hutang) jangka pendek dan tidak bisa mejadwal-ulang hutang jangka pendeknya. Para nasabah terutama di Inggris menarik depositnya dan membuat bank-bank ini kolaps. Krisis di Islandia ini mengancam negaranya kearah kebangkrutan. Islandia yang GDP per kapitanya US$65,000 (no 4 di dunia) berada di tepi jurang kebangkrutan. Krisis Islandia ini membebani kira-kira $55,000 setiap anak dan orang dewasa di Islandia.
Bagaimana dengan posisi Indonesia? Apa sudah menjelang krisis? Kalau pertanyaan ini dilontarkan ke Sri Mulyani, jawabnya tentu tidak. Dia sangat percaya diri bahwa krisis seperti 1998 sudah jadi sejarah. Tetapi, percaya diri bukan jawaban pertanyaan di atas. Analisa lebih penting dari itu.
Dalam semua analisa, saya selalu berusaha menyajikannya dengan data yang kredibel dan bisa dipercaya. Kita mulai dari cadangan devisa: akhir Januari 2018, cadangan devisa Indonesia tercatat sebesar $131.98 milyar, dan pada akhir Juni kemarin, jumlahnya susut menjadi $119.8 milyar, baru turun 9.2%. selanjutnya posisi USD-Rp: di bulan Januari, USD tercatat masih 13.290 dan saat tulisan ini dibuat, posisinya naik ke 14.515 atau sekitar 9.2%, identik dengan penurunan devisa? Baik, selanjutnya saya akan jelaskan seberapa penting devisa di suatu negara.
Cadangan devisa, selain dipakai untuk stabilisasi nilai mata uang sebuah negara, juga berperan vital untuk membiayai belanja impor dan pembayaran utang valas. Posisi cadangan devisa Indonesia per bulan Juni 2018 yang sebesar $119.8 milyar setara dengan pembiayaan untuk 7,2 bulan impor atau 6,9 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Angka USD119,8 miliar tersebut berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
Sekarang, kita masuk hitung-hitungan selanjutnya. Hutang jangka pendek pemerintah plus swasta saat ini adalah $45 milyar. Hanya 37% dari cadangan devisa. Setidaknya kewajiban hutang yang jatuh tempo dalam waktu dekat ini masih bisa teratasi oleh cadangan devisa. Selanjutnya dana asing di bursa saham dan obligasi. Pemerintah sering membanggakan diri bahwa kepercayaan investor asing terhadap Indonesia cukup tinggi. Lembaga rating mengkategorikan surat hutang Indonesia ke level investment grade.Pemerintah boleh bangga terhadap itu semua, tetapi tidak bisa disangkal bahwa investasi portfolio adalah investasi yang likuid. Dana bisa keluar dan masuk secara cepat. Nah, bagaimana kalau investor asing (bukan lokal) melakukan redempsi (pencairan) portfolionya dan hengkang dari Indonesia? Berapa besar mereka ini?
Investasi di pasar obligasi Indonesia, ada sekitar $40 milyar dimiliki asing. Sedangkan di pasar saham ada sekitar $128 milyar dimiliki asing. Ini berarti $168 milyar portfolio asing ada di bursa.
Tanpa melihat yang lain-lain, perbandingan antara cadangan devisa yang pada bulan Juli 2018 yang hanya $119 lebih sedikit dengan jumlah modal portfolio asing yang $128 milyar, kalian bisa menyimpulkan sendiri apakah portfolio asing ini madu atau racun, atau tuak yang memabukkan.
Akhir tahun 2017 lalu, pemerintah merencanakan untuk menerbitkan surat hutang sebasar Rp 433 trilliun. Apakah itu dalam US dollar yang kira-kira nilainya $30 milyar, atau dalam rupiah. Anggap saja dalam US dollar. Ini adalah asumsi yang paling enak untuk pemerintah. Artinya, pemerintah akan memperoleh tambahan $30 milyar untuk mempertahankan rupiah dan menutup defisit neraca berjalannya, lumayan $30 milyar.
Amunisi vs Ancaman:
Amunisi: Cadangan devisa: $119 milyar, tambahan dari hutang: $30 milyar (mungkin bisa ada), total kekuatan: $149 milyar
Ancaman: Hutang jangka pendek: $ 45 milyar (wajib dibayar), portfolio asing di bursa: $168 milyar, total ancaman: $213 milyar
Dari perimbangan amunisi dan ancaman ini, terlihat pemerintah akan tercecer dalam menghadapi krisis, dan itu baru mempertimbangkan dana asing yang keluar, yang lebih seru adalah jika investor lokal ikut-ikutan panik, entahlah. Menurut kalian, apakah pemerintah siap? Yang lebih penting lagi, apakah kalian siap?
Renungan
Untuk sekarang, mungkin tulisan saya terlihat agak sedikit berlebihan dan sangat negatif, tapi saat akhir tahun nanti ketika keadaan (mungkin) memburuk, kalian akan menyadari kalau tulisan di sini ternyata murni menyajikan kebenaran.
Terakhir, karena manusia adalah makhluk yang dapat berpikir, saya ingin memberikan sebuah pengandaian:
Saat kapal Titanic berjarak 100 m lagi untuk menabrak gunung es, nakhoda memberikan pengumuman pada semua penumpang agar tetap tenang, kapal akan baik-baik saja dan tidak akan tenggelam, alasannya karena tidak ada cukup sekoci untuk menyelamatkan diri, ditambah, kapal-kapal lain dari Jepang dan Eropa bahkan berjarak lebih dekat ke gunung es dibanding kapal kita, dan mereka semua tidak berbalik arah, ini berarti semua kondisi aman terkendali. Pertanyaannya, jika kalian adalah penumpang di kapal Titanic itu, apa kalian akan percaya?
Mengenai pilihan percaya atau tidak dengan apa yang saya sampaikan, kembali kepada pilihan masing-masing. Analisa saya mungkin bisa salah, tapi kejujuran saya bisa dijamin.